Halloween Costume ideas 2015

HARUAI-WIRANG.blogspot.com

Haji Pangeran Abu Bakar (Awal kedatangan ke desa Marindi dan asal usul nama Lusia)

Haji Pangeran Abu Bakar (Awal kedatangan ke desa Marindi dan asal usul nama Lusia)

Haji Pangeran Abu Bakar (Awal kedatangan ke desa Marindi dan asal usul nama Lusia)

kUBAH PANGERAN ABU BAKAR DI MARINDI


Marindi adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong. Desa Marindi terletak sebelah timur Kecamatan Haruai dan berjarak 8 km dari ibukota kecamatan, 33 km dari ibukota kabupaten, dan 250 km dari ibukota provinsi. Desa Marindi memiliki luas wilayah 30 km² (Profil Desa Marindi), secara geografis memiliki batas wilayah sebagai berikut :
1.      Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Muara Uya
2.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Upau
3.      Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Upau
4.      Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Wirang
Kondisi alam wilayah Desa Marindi pada umumnya berdataran rendah dengan sedikit berbukit, terdiri dari daerah lahan kering, sedikit lahan basah (sawah), dan tidak rawan banjir. Pemukiman penduduk Desa Marindi terletak berbanjar di tepian sungai Kinarum yang membentang dari Timur ke Barat. Seperti masyarakat pada umumnya, penduduk Desa Marindi juga sangat bergantung pada keberadaan sungai Kinarum sebagai sumber kehidupan (Profil Desa Marindi).
Dalam hal ekonomi pada umumnya mata pencaharian penduduk Desa Marindi yaitu dari hasil bertani. Bertani yaitu menanam padi baik di sawah ataupun diladang yang sering disebut bahuma, selain padi ada juga beberapa tanaman lain yang ditanam seperti pisang dan berbagai jenis buah-buahan lainnya. Bahuma atau menanam padi di gunung merupakan sistem bercocok tanam tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang sebagian besar penduduk Kalimantan dan sampai sekarang masing bisa dijumpai terutama untuk wilayah berdataran tinggi. Bahuma gunung ini hanya dilakukan sekali dalam setahun, sesuai dengan peredaran musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau mereka membabat semak belukar atau batabang, yang kemudian dibakar atau disirau kemudian ditanami bibit.[1]
Selain menanam padi dan berbagai jenis buah-buahan, penduduk Desa Marindi juga berkebun karet. Karet di Kabupaten Tabalong dibawa oleh Belanda pada tahun 1907, ketika itu pemerintah Hindia Belanda telah mendorong penanaman besar-besaran di Kalimantan Selatan yaitu di Tabalong dan afdeeling Amuntai.[2]  Sampai sekarang mata pencaharian utama penduduk Desa Marindi yaitu dari hasil berkebun karet atau manureh dan juga bahuma padi. Walaupun ada juga sebagian yang menjadi pedagang dan juga pegawai negeri, namun itu tidak seberapa.
Menurut bapa Rusli, sebelum agama Islam masuk Desa Marindi dulunya merupakan pemukiman dari suku Dayak Deah (Dayak Kinarum atau Dayak Upau). Pendapat ini juga diperkuat oleh Hermen I Ngenda tokoh masyarakat dari suku Dayak Deah. Beliau berpendapat bahwa Desa Marindi dulunya adalah tempat tinggal nenek moyang mereka yang bernama Lowu Sia[3] (Lusia sekarang) sebelum ajaran Islam tersebar. Ketika ajaran Islam berkembang di daerah ini, orang-orang Dayak Deah bergeser lebih ke timur, yaitu Desa Kinarum, Desa Sungai Rumbia, Desa Pangelak yang termasuk dalam  Kecamatan Upau sekarang. Ada pun bukti lain ialah masih banyak terdapat makam-makam adat orang-orang Dayak di Desa Marindi.[4]
Suku yang mendiami wilayah di sekitar Desa Marindi adalah Dayak Deah, suku Dayak ini sering juga disebut Dayak Dusun atau Dayak Tabalong yang merupakan salah satu suku Dayak rumpun Ot Danum atau Barito Raya. Suku Dayak Deah ini sebagian besar mendiami wilayah di Desa Gunung Riut (Balangan) dan Tabalong bagian utara yang tersebar di empat kecamatan yaitu Kecamatan Upau, Kecamatan Haruai, Bintang Ara, Kecamatan Uya dan Kecamatan Jaro, Provinsi Kalimantan Selatan.
Ketika Pangeran Abu Bakar beserta rombongan yang berasal dari Kalua datang ke Desa Marindi pada waktu itu masih bernama Lowu Sia, daerah ini masih berupa hutan belantara yang di dalamnya terdapat perkampungan-perkampungan suku Dayak Deah. Kedatangan  Pangeran Abu Bakar ke daerah ini disambut baik oleh penduduk setempat. Para keluarga Pagustian bisa hidup berdampingan suku Dayak. Pangeran Abu  Bakar termasuk orang yang pandai sehingga mudah berbaur dengan penduduk setempat, selain itu juga karena status beliau sebagai keturunan dari Bangsawan Banjar. Dengan kewibawaan beliau dan juga karena status sosial beliau, Pangeran Abu Bakar diangkat menjadi ketua adat di Desa Marindi ini.[5]
Kedatangan keluarga Pegustian ke Tabalong bagian utara ini dikarenakan mereka tidak mau patuh terhadap pemerintah Belanda yang telah menguasai pemukiman mereka. Para keluarga Pegustian ini sebagian besar adalah para pejuang berasal dari Habau, Pasar Arba Banua Lawas, Hariang, Hapalah, Sungai Hanyar, Bangkiling, Banua Rantau, Kalua, Pulau, Hampukung, Sungai Rukam, Sungai Buluh, Tantaringin, dan sekitarnya. Karena mereka ini tidak mau bekerja sama dengan Belanda, mereka dikejar-kejar sebagai buronan Belanda, mereka ini secara bertahap menyingkir ke hutan-hutan di Utara Tabalong, yaitu ke Mahe, Batu Pulut, Burum, Murung Bulan (Tabalong Kiwa), Haruai, Lampahungin, Marindi, dan sekitarnya. Sedangkan pelarian dari Amuntai bermukim di Muara Uya, dari Kandangan bermukim di Bongkang dan Lombang. Di Tabalong Utara ini pun keluarga pegustian tetap dianggap sebagai buronan oleh Belanda dan terus terjadi perlawanan oleh keluarga pegustian.[6]
Pangeran Abu Bakar sendiri berasal dari Kalua yang sejak umur kurang lebih 20 tahun hijrah ke Hulu Sungai ikut ayahnya Pangeran Singosari. Pada masa pemerintahan Sultan Adam (1825-1857) Pangeran Singosari adalah perwakilan Kesultanan Banjar di Banua Lima. Pangeran Abu Bakar beserta rombongan datang ke Marindi diperkirakan sekitar tahun 1885-an termasuk di dalamnya adalah Gusti Buasan.[7] Diperkirakan umur Pangeran Abu Bakar pada waktu itu sekitar 28 tahun. Salah satu bukti yang bisa dilihat adalah dimana lokasi atau pemukiman pelarian dari Kalua dan Banua Lawas semua tetap menggunakan dialek bahasa Kalua salah satu contohnya adalah di Desa Marindi sekarang.
Perkampungan Marindi yang pada waktu itu masih berupa hutan lebat diroboh atau dibuka untuk dijadikan areal pertanian tunggal untuk menanam berbagai jenis tanaman.[8] Di Desa Marindi ini dibentuk suatu kelompok adat bagi para Pegustian dan sebagai kepala adatnya adalah Pangeran  Abu Bakar, beliau ditunjuk karena memiliki pengetahuan agama yang luas atau seorang ulama. Pangeran Abu Bakar menetap di desa ini, beliau juga menikahi seorang perempuan Dayak Deah. Selain itu Pangeran Abu Bakar juga mengawinkan Gusti Buasan dengan salah satu perempuan dari Dayak Deah. Dengan perkawinan ini nantinya akan membentuk suatu ikatan persaudaraan antara orang Dayak dan keluarga Pegustian dan bersatu untuk melawan Belanda. Selain sebagai tempat pelarian dari kejaran Belanda, daerah Tabalong Utara ini dijadikan tempat untuk berdakwah bagi keluarga Pegustian khususnya Pangeran Abu Bakar beserta murid dan sahabat beliau. Inilah awal kedatangan Pangeran Abu Bakar beserta rombongan ke Desa Marindi.




[1] Suriansyah Ideham dkk, Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan, 2005), hlm. 150
[2] Ibid., hlm. 148
[3] Lowu Sia adalah nama perkampungan Dayak Deah yang dulunya mendiami daerah di sekitar Desa Marindi. Sekarang penulisan nama Lowu Sia diganti dengan Lusia oleh masyarakat Desa Marindi.
[4] Rusli, wawancara 9 April 2014
[5] Mahlan & H. Diris, Latar Belakang dan Perjuangan Gusti Buasan (Lampahungin: 2003), hlm. 3
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.,  hlm. 4
Label:

Post a Comment

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Theme images by mammuth. Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget